Minggu, 31 Agustus 2014 M - 5 Dzulqa'idah 1435 H
Cerpen oleh : WIZA NOVIA RAHMI
Seorang anak petani dengan latar
belakang kurang berpendidikan mencoba mengangkat garis kehidupannya yang mana
seluruh kakaknya tidak mengenyam bangku
perkuliahan. Dia adalah anak bungsu dari empat bersaudara yang sedari
kecilnya sudah memiliki beberapa prestasi yang membuat orangtuanya bangga dari
tiga saudara lainnya. Berawal dari itulah, niat untuk mengubah hidup menjadi
hal paling utama baginya.
ilustrasi |
Layaknya gadis lain, kehidupan
remaja Husna ini tentu menjadi hal penting. Galau, cinta, benci adalah santapan
sehari-hari ketika berpapasan dengan orang yang disukainya. Namanya Harun,
seorang pria yang menurutnya paling baik selain ayah dan kakak laki-lakinya. Dua
tahun lebih perasaan ini mengganggu kehidupannya. Husna tak berani
mengungkapkan, karena perempuan itu sejatinya adalah lemah. Karena itulah,
mengajar jadi salah satu usahanya untuk melupakan orang yang ia sukai. Dengan
mengajar dan tertawa bersama anak-anak, bebannya seolah musnah, rindu seolah punah.
Enam bulan mengajar MDA, tepatnya seminggu jelang idul
fitri, Husna mampu memenuhi kebutuhan di kamarnya yang mana seharusnya ini
adalah tanggung jawab dari orangtuanya sendiri. Namun Husna tau kehidupan
orangtuanya, dia berusaha mengumpulkan honor dari MDA dan sebagian kecil uang jajan dari abi untuk ditabung di sebuah bank
dekat rumahnya. Husna mampu mengumpulkan uang dan setelah dimusyawarahkan
dengan keluarga, akhirnya Husna mau mengalihkan uang tersebut untuk membeli
sebuah kasur dan lemari pakaian untuk di kamarnya. Hal ini justru mengundang
tanya para tetangga, “ada apa gerangan?” “apa mungkin Husna mau menikah?”
Demikian kira-kira pertanyaan dari tetangganya. Namun lama-kelamaan tetangga Husna pun tau bahwa ini adalah hasil dari honor Husna selama jadi guru MDA.
Husna masih ingat kata-kata abi “dulu,
semua anak abi sekolah, pakai biaya, tapi abi mampu membiayai dan memberi uang
jajan, meski harus dengan susah payah. sekarang anak abi hanya tinggal satu
orang yang sekolah, tapi susahnya sama seperti abi menyekolahkan empat orang
anak abi dulu” Demikian kata abinya ketika Husna mengingatkan untuk bayar SPP.
Maklumlah, pondok pesantren tempat Husna sekolah ini merupakan sekolah swasta, setiap bulannya harus bayar SPP Rp
150.000 . Akan tetapi, pesantren tempat Husna bersekolah juga ada beasiswa, Husna pernah mendapatkan beasiswa itu, tentunya dengan latar belakang tidak mampu.
Empat hari dalam seminggu, Husna aktif mengajar di MDA. Selain itu, setiap Kamis Husna rajin mendatangi
organisasinya. Setahun lalu Husna masuk organisasi itu di sekolahnya. Sampai
hari ini, Husna masih menekuninya. Berkat itu Husna dipilih menjadi Ketua Umum di organisasinya.
Percaya tidak percaya, mau tidak mau, ini adalah kepercayaan dari anggota.
Namun Husna tidak berani
menceritakan pada abi, pun sama umi. Husna yakin orangtuanya pasti tidak akan
pernah setuju. Abi maunya Husna aktif di keagamaan, menjadi seorang da’iyah. Husna juga tidak tahu, sampai kapan dia akan menyembunyikan ini. Entah lah.
Hari demi hari dilewati Husna,
menghabiskan hari di madrasah, atau yaa di MDA. Husna tidak ingin keberadaannya
di rumah membuatnya kesepian dan akhirnya mengingatkan kembali pada Harun.
Suatu sore di tengah hujan lebat,
keluarga Husna berkumpul menceritakan penghargaan yang diterima Husna dari
organisasinya tersebut. Abi mengusulkan supaya di pajang di dinding rumah, Husna setuju, tapi harus diberi plastik agar ketika
masuk perguruan tinggi nanti bisa diambil lagi dan dibawa. Karena Husna pernah
dengar kalau penghargaan atau sertifikat itu sangat penting untuk masuk perguruan
tinggi nanti.
Usul Husna ditertawakan orangtua
dan kakak-kakaknya. Dengan bicara sambil menahan tawa, umi mematahkan semangat Husna “dapat uang darimana Husna, kuliah itu mahal, abi sama umi hanya petani,
panennya cuma sekali dalam 5 bulan, mengajar di MDA saja, lalu menikah. Untuk
apa kuliah, banyak kok sarjana di luar sana yang pengangguran” ujar umi dengan
santai tanpa memperhatikan hati Husna yang sudah penuh air karena mata tak mampu
mengeluarkannya.
Husna lalu menjawab dengan tegas
“maaf umi, Husna juga ingin seperti mereka, bagaimanapun Husna harus kuliah umi, harus sampai S 2. Husna ingin berhasil
umi, tidak mungkin kan setamat pesantren Husna jadi petani juga. Tidak mungkin juga Husna hanya menjadi guru MDA, dunia ini lebar umi. Hari ini saja pendidikan
paling rendah itu S 1 , apalagi 10 tahun lagi. Pokoknya Husna akan kuliah, Husna akan ambil jadwal pagi
agar siangnya bisa penuh mengajar di MDA” ujar Husna dengan semangat berapi.
Mendengar jawaban Husna, abi
segera menengahi, “kalaupun abi sama umi tidak mampu menguliahkan Husna nanti,
jika Husna tetap bersikeras, abi akan bawa Husna ke kota, bukankah beberapa waktu
lalu Husna sudah diajak agar setamat pesantren tinggal sama bibi di kota dan dibiayai
kuliah Husna di sana, Husna tinggal belajar dengan rajin dan membantu pekerjaan
di rumah bibi, paling tidak membersihkan rumahnya, kamu mau kan nak?” tanya abi
dengan sedikit lembut. “Husna mau bi, yang penting Husna bisa kuliah, di mana pun
itu” jawab Husna sudah dengan mata berseri karena harapan untuk kuliah dan
menjadi dosen terbang jurusan tafsir hadits sudah nampak titik terang. Akhirnya
sore itu Husna sedikit lega, karena setiap bicara tentang kuliah, umi pasti
mematahkan.
Husna makin semangat menjalani
hari, belajar, mengajar, dan organisasi sekolah. Rindunya telah terbuang.
Kehidupan remajanya kini dipenuhi kegiatan bermanfaat. Terima kasih aby umy.
in my bedroom, 30 Agustus 2014 | JUSTIC
in my bedroom, 30 Agustus 2014 | JUSTIC
Posting Komentar untuk "ABI-UMI, HUSNA JUGA INGIN SEPERTI MEREKA . . ."